Foodgathering

Pada masa berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana ini, teknologi atau budaya pada masa berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana ini disebut juga tradisi paleolitik. Masa ini berlangsung pada zaman  plestosen yang berlangsung sekitar 1,9 juta-10.000 tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalan kehidupan manusia pada masa ini terekam dalam sisa-sisa peralatan yang sering disebut artefak. Di Indonesia, tradisi pembuatan alat pada masa paleolitik dikenal 3 macam bentuk pokok, yaitu tradisi serpih-bilah, tradisi kapak perimbas-penetak,  dan alat tulang-tanduk (Heekeren dalam Jati, 2013).

Peralatan manusia prasejarah di masa ini dibuat dari batu yang cara pengerjaannya masih sangat kasar. Pada saat itu manusia prasejarah kehidupannya masih sangat sederhana. Mereka hidup berkelompok dengan anggota kelompok sebanyak 10-15 orang. Mereka sudah mengenal api, meskipun baru dimanfaatkan sebagai senjata untuk menghadapi makhluk hidup lain, atau untuk menakuti binatang buruan (Sudrajad. 2012).

Manusia prasejarah  pada masa ini  mendapatkan bahan makanan dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan dengan memungut langsung dari alam (food gathering). Mereka sangat tergantung dengan persediaan makanan dari alam karena mereka belum mampu memproduksi makanan. Oleh karenanya mereka selalu berpindah pindah tempat (nomaden) mengikuti musim makanan. Apabila makanan di tempat mereka habis, maka mereka akan pindah ke tempat lain yang  persediaan makanannya masih mencukupi (Sudrajad. 2012). Daerah-daerah yang diduduki manusia masa ini harus dapat memberikan cukup persediaan untuk memungkinkan kelangsungan hidup. Mereka biasanya tinggal untuk sementara waktu di tempat yang cukup mengandung bahan-bahan makanan dan air, dan pengumpulan makanan menjadi kegiatan pokok sehari-hari dan peralatan dari kayu, batu, dan tulang dipakai untuk keperluan kegiatan tersebut (Soejono dkk, 2010:43).

Biasanya manusia purba hidup di dalam gua atau di pinggir sungai dengan tujuan utama untuk mempermudah dalam pencarian makanan. Sungai merupakan tempat yang paling memungkinkan untuk mendapatkan ikan. Sedangkan gua dapat mereka manfaatkan sebagai tempat untuk melindungi diri dari cuaca panas, hujan dan serangan dari binatang buas (Sudrajad. 2012).

Selain itu juga pada masa ini di Indonesia dikenal tradisi pembuatan alat-alat untuk menunjang kebutuhan sehari-hari yang dibagi ke dalam tiga golongan. Pertama, kapak perimbas-penetak (chopper chopping tool complex), yakni sejenis kapak yang digenggam dan berbentuk masif. Teknik pembuatan pada umumnya masih kasar dan tidak mengalami perubahan dalam waktu yang panjang. Fungsi utama dari kapak perimbas-penetak adalah sebagai alat untuk memotong daging hasil buruan, biji-bijian, dan sebagai alat penyayat. Perkembangannya di Indonesia dimulai kira-kira pada tingkat akhir pleistosen tengah sampai kira-kira permulaan holosen.

Kedua, alat serpih bilah. Pertama kali dikemukakan oleh Koenigswald pada tahun 1934. Tradisi alat serpih menghasilkan perkakas perkakas yang berbentuk sederhana dengan memperlihatkan kerucut tumpul yang jelas. Bahan batuan yang digunakan pada umumnya adalah beberapa jenis batuan tufa dan gamping kersikan serta batuan endapan. Fungsi dari Alat serpih bilah adalah sebagai alat untuk menguliti hewan buruan, mengiris daging buruan, memotong umbi-umbian atau buah-buahan. Ketiga, alat tulang dan tanduk. Pembuatan alat-alat tulang pada tingkat plestosen sementara ini hanya diketahui di Ngandong. Kegunaan dari alat-alat tulang ini adalah sebagai sudip, mata tombak, pencukil, dan belati (Soejono dkk, 2010:94-132).

Pada masa tersebut Indonesia dipandang sebagai pusat asal-usul evolusi manusia purba kala plestosen di kawasan regional Asia Tenggara. Peran Indonesia saat itu menjadi jembatan daratan yang menghubungkan antara daratan Asia dengan Asia Tenggara kepulauan (Suprapta, 2016: 136-141). Pada masa ini terdapat beberapa manusia pendukung yang dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Meganthropus, manusia purba jenis ini memiliki ciri-ciri rahang bawah tebal dan kuat, tubuh tegap, tonjolan tutang pipi yang tebal, tonjolan kening tebal, dan memiliki otot-otot yang kuat; (2) Pithecanthropus, memiliki ciri-ciri hidup antara 500 ribu s.d 1 juta tahun yang lalu, volume otak lebih dari 900 cc, tinggi badan sekitar 165-170 cm, memiliki alat pengunyah yang kuat; (3) Homo, ciri-cirinya muka datar dan lebar, hidung lebar dan bagian mulut menonjol, volume otak 1350-1450 cc, tingginya 130-210 cm, cara berjalan sudah lebih tegak, otot dan tulang besar, jarak antara hidung dan mulut masih jauh (Soejono dkk, 2010:74-92).

a. Jenis Meganthropus 
Meganthropus berasal dari kata mega berarti besar, dan antropo yang berarti manusia atau manusia raksasa merupakan jenis manusia prasejarah paling primitif. Fosil dari jenis ini ditemukan di Sangiran (Jawa Tengah) oleh Von Koenigswald tahun 1936 dan 1941. Von Koeningswald menamakan fosil temuannya ini dengan sebutan Mengathropus Palaeojava nicus (raksasa dari Jawa). Fosil yang ditemukan adalah sebuah rahang bawah dan 3 buah gigi (1 gigi taring dan 2 gigi geraham) berasal dari lapisan pleistosen bawah (Simanjuntak dalam Yusliani & Mansyur, 2015).

Meganthropus diperkirakan hidup antara 2-1 juta tahun yang lalu. Dari rahang dan gigi yang ditemukan terlihat bahwa makhluk ini adalah pemakan tumbuhan yang tidak dimasak terlebih dahulu (rahang dan giginya besar dan kuat). Belum ditemukan perkakas atau alat di dalam lapisan ini sehingga diperkirakan manusia jenis ini belum memiliki kebudayaan (Sudrajad. 2012).

Rahang bawah Meganthropus mempunyai batang yang sangat tegap dan geraham yang besar-besar. Pada permukaan kunyah tajuknya terdapat banyak kerut, tetapi bentuk giginya adalah hominin. Otot-otot kunyahnya niscaya sangat kukuh, oleh karena itu mukanya diperkirakan massif dengan tulang pipi tebal, tonjolan kening yang mencolok, dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tempat perlekatan yang besar bagi otot-oto tengkuk yang kuat. Dagu tidak ada dalam Meganthropus. Perawaknnya diperkirakan juga tegap. Melihat giginya, diperkirakan makanannya berupa tumbuh-tumbuhan (Soejono dkk., 2010).

b. Jenis Pithecanthropus
Pithecanthropus merupakan jenis manusia praaksara yang jumlahnya paling banyak. Pada tahun 1890-1891 dalam penelitian di Trinil (Ngawi) seorang dokter  tentara Belanda berkebangsaan Perancis Dr. Eugene Dubois menemukan rahang bawah, tempurung kepala, tulang paha, serta geraham atas dan bawah. Dr. Eugene Dubois menamakannya Pithecanthropus Erectus (manusia kera berdiri tegak)  dengan volume otak kira-kira 900 cc serta memiliki tinggi badan kurang lebih 165 cm (Sudrajad. 2012).   

Jenis Pithecanthropus yang lain adalah Pithecanthropus mojodkertensis yang ditemukan di Sangiran oleh Weidenreich dan Von Koeningswald pada tahun 1939. Jenis lainnya adalah pithecanthropus dubius yang ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1939 di Sangiran. Kedua fosil ini berasal dari lapisan pleistosen bawah (Sudrajad. 2012). 

Soejono dkk. (2010) menyimpulkan bahwa Pithecanthropus mojodkertensis berbadan tegap, mukanya pasti memiliki tonjolan kening yang tebal dan tulang pipi yang kuat. Mukanya menonjol ke depan sehingga diperlukan otot-otot tengkuk yang kukuh untuk mengimbanginya. Ditaksir, usianya sekitar 1,9 juta tahun sebelum sekarang. Kehidupan Pithecanthropus Modjokertensi diperkirakan antara 2,5 hingga 1,5 juta tahun yang lalu, jadi kira-kira bersamaan dengan Meganthropus.

Pithecanthropus yang bertahan hidup sampai akhir Plestosen Tengah atau lebih belakang lagi adalah Pithecanthropus soloensis. Berdasarkan hasil-hasil pertanggalan sementara, kehidupan Pithecanthropus soloensi ditaksir antara 900.000-300.000 tahun yang lalu. Pithecanthropus soloensis oleh sebagian ahli dianggap Homo neanthertalensis, bahkan ada yang menganggapnya Homo sapiens (Soejono dkk. (2010).

c. Jenis Homo
Manusia jenis homo merupakan manusia paling maju bila dibandingkan dengan manusia prasejarah sebelumnya. Penemuan manusia jenis ini diawali oleh Von Rietschotten  yang berhasil menemukan sebuah tengkorak dan rangka di Tulung Agung (Jawa Timur). Setelah diteliti oleh Dr. Eugene Dubois fosil manusia jenis ini dinamai Homo Wajakensis. Sementara itu Ter Harr dan Openoorth dalam penelitian di Ngondong berhasil menemukan tengkoran dan tulang betis dari lapisan pleisosen atas yang kemudian diberi nama Homo Soloensis (Sudrajad. 2012).    .

Homo merupakan jenis manusia yang paling maju dengan volume otak yang lebih besar dari jenis sebelumnya. Homo merupakan pendukung kebudayaan neolithikum yang berhasil dalam revolusi kehidupan. Von Koenigswald menyebutkan barangkali Homo Wajakensis termasuk jenis homo sapiens (manusia cerdas) karena telah mengenal teknik penguburan. Diperkirakan jenis ini merupakan nenek moyang dari ras Austroloid dan menurunkan penduduk asli Asutralia yang sekarang ini (Sudrajad. 2012).